Posted in ASET

Bagaimana Menetapkan Hasil Penelitian/Kajian Sebagai Aktiva Tak Berwujud?

pengertian-aktiva-tetap1

Warkop Mania,

Meskipun aktiva tak berwujud jarang menjadi catatan BPK namun bukan berarti tidak ada permasalahan dalam pencatatan aktiva jenis ini. Itulah mengapa hingga akhirnya Desember 2011 lalu KSAP menerbitkan buletin teknis 11 tentang aset tak berwujud. Salah satu permasalahan yang menjadi latar belakang terbitnya bultek tersebut adalah masalah pengidentifikasian dan pencatatan hasil kajian dan software termasuk juga masalah penilaian dan pencatatan paten. Kali ini kami akan mencoba menjawab pertanyaan sdr. Arief terkait dengan apakah RPJMD termasuk aset tak berwujud dikaitkan dengan penjelasan dalam bultek 11.

Sebelum bultek 11 diterbitkan penjelasan masalah ATB sangatlah minim. Penjelasan ini hanya dapat dijumpai pada  bultek 02 neraca awal Bab VIIa yang menjelaskan bahwa ATB merupakan bagian dari aset lainnya. Namun, dalam literatur-literatur akuntansi ATB merupakan satu bagian tak terpisahkan dari aset tetap yang diklasifikasikan sebagai aset tetap berwujud dan tak berwujud. Aset tak berwujud didefinisikan dalam SAP sebagai aset nonkeuangan yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa atau digunakan untuk tujuan lainnya termasuk hak atas kekayaan intelektual. Dalam bultek tersebut disebutkan bahwa ATB meliputi

  1. Software komputer;
  2. Lisensi dan franchise;
  3. Hak cipta (copyright), paten, dan hak lainnya; dan
  4. Hasil kajian/penelitian yang memberikan manfaat jangka panjang.

Point 1-3 pada dasarnya sama dengan apa yang selama ini sudah diterapkan pada sektor privat terkait dengan pencatatan ATB. Dalam hal hasil kajian/penelitian akuntansi sektor privat hanya membatasi pada hasil kajian yang terkait dengan penelitian dan pengembangan (research and development) produk dan proses atau penyempurnaan produk dan proses yang ada. Hal ini bisa jadi berbeda dengan penerapannya pada akuntansi sektor publik. Dalam sektor privat konsep matching cost against revenue sangat jelas. Sehingga biaya-biaya terkait dengan penelitian dan pengembangan tersebut dapat dikaitkan langsung dengan pendapatan yang akan diperoleh. Hal ini mengingat biaya-biaya tersebut dapat diidentifikasi untuk perbaikan produk dan proses untuk menghasilkan barang dan jasa. Berbeda dengan sektor publik dimana konsep matching cost  against revenue tidak selalu bisa ditrasir.

Warkop Mania,

RPJMD adalah dokumen perencanaan yang mempunyai masa manfaat selama lima tahun. Dokumen tersebut dihasilkan dari sebuah proses pengkajian kondisi daerah untuk menggali permasalahan dan potensi daerah untuk kemudian membuat sebuah proyeksi seperti apa kondisi daerah lima tahun ke depan. Manfaat dokumen tersebut selain sebagai acuan dalam pelaksanaan pembangunan tahunan juga berfungsi sebagai sarana akuntabilitas kepala daerah dengan melakukan evaluasi atas capaian-capaian pembangunan tahunan maupun diakhir masa jabatannya. Tak hanya itu, dari dokumen tersebut juga bisa digunakan sebagai mekanisme pemberian reward dan punishment bagi kepala-kepala SKPD atas pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan berdasarkan urusan yang diembannya.

Jika demikian, apakah kemudian RPJMD merupakan bagian dari ruang lingkup hasil kajian/penelitian yang disebutkan dalam point 4 di atas? Pertanyaan ini pun sebenarnya bisa berkembang apakah kemudian RPJP yang mempunyai rentang waktu 25 tahun ataukah dokumen Rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) juga bisa dimasukkan dalam kriteria ATB?

Dokumen-dokumen tersebut jelas memberikan manfaat jangka panjang. Namun, sekali lagi, apakah dokumen tersebut bisa diidentifikasikan sebagai ATB? Dalam penjelasan lebih detail terkait hasil penelitian ini SAP menyatakan bahwa hasil kajian/penelitian yang memberikan manfaat jangka panjang adalah suatu kajian atau penelitian yang memberikan manfaat ekonomis dan/atau sosial di masa yang akan datang yang dapat diidentifikasi sebagai aset. Apabila hasil kajian tidak dapat diidentifikasi dan tidak memberikan manfaat ekonomis dan/atau sosial maka tidak dapat dikapitalisasi sebagai aset tak berwujud. Penjelasan ini lah yang bisa jadi menimbulkan keraguan dalam hal  pencatatan. Sebagaimana yang kami untkapkan di atas bahwa dokumen-dokumen perencanaan jangka panjang dan menengah tersebut jika dirunut lebih jauh akan memberikan manfaat ekonomis dan/atau sosial.

Untuk memutuskan apakah RPJMD masuk sebagai ATB atau bukan ada baiknya kita kembalikan lagi kepada definisi aset itu sendiri. ATB termasuk dalam kriteria aset nonlancar yang berarti bahwa ia mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Untuk kriteria ini RPJMD jelas memenuhi kriteria. Bagaimana dengan batas kapitalisasi pengakuan aset? Biaya penyusunan dokumen ini biasanya cukup tinggi karena melibatkan banyak pihak dan prosesnya cukup panjang. Sehingga, jika memang bisa dimasukkan sebagai ATB biaya penyusunannya akan memenuhi batas kapitalisasi. Namun, ada satu hal yang perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan manfaat ekonomi di masa yang akan datang dalam pendefinisian aset adalah potensi aset tersebut untuk memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, bagi kegiatan operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan atau penghematan belanja bagi pemerintah. Dari definisi ini peran RPJMD dalam memberikan sumbangan berupa aliran atau penghematan belanja bagi pemerintah mulai dipertanyakan. Memang benar bahwa RPJMD akan mengarahkan kegiatan-kegiatan yang telah didanai APBD untuk menghasilkan pendapatan dan efisiensi belanja. Namun, hal ini tidak berarti bahwa RPJMD itu sendiri akan memberikan sumbangan aliran pendapatan dan penghematan belanja. Hal ini juga berlaku untuk dokumen seperti RTRW dan RPJP. Argumen yang lebih kuat untuk tidak memasukkan dokumen perencanaan ini ke dalam ATB dapat dijumpai dalam bultek 11 terkait dengan kriteria pengidentifikasian. Kriteria pertama untuk dapat diakui sebagai ATB adalah dapat dipisahkan. Suatu ATB memenuhi kriteria ini jika dapat dijual, dipindahtangankan, diberikan lisensi, disewakan, ditukarkan, baik secara individual maupun secara bersama-sama. RPJMD jelas tidak memenuhi kriteria ini karena meski dihasilkan dari proses penelitian dan pengkajian kondisi daerah dokumen ini tidak dapat dijual, dipindahtangankan, diberikan lisensi, disewakan, atau bahkan ditukar. RPJMD adalah dokumen yang sangat spesifik bagi daerah di mana satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai perbedaan karakteristik kondisi daerah.

Warkop mania,

Pertanyaan lain yang kemudian berkembang adalah hasil kajian/penelitian seperti apakah yang bisa dimasukkan sebagai ATB? Apakah hasil kajian sosial yang dilaksanakan oleh bappeda ataukah SKPD yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan riset dapat begitu saja mengkapitalisasi biaya terkait pelaksanaan riset sebagai ATB?

Satu hal yang perlu dipegang dalam penentuan hasil kajian/penelitian yang bisa dimasukkan dalam ATB adalah aspek manfaat ekonomi dan sosial di masa yang dapat diidentifikasi. Jika hasil penelitian/pengembangan tersebut tidak dapat menghasilkan pendapatan/penghematan biaya ataukah perbaikan pelayanan masyarakat sebagai bagian dari manfaat sosial tentu tidak bisa diidentifikasikan sebagai ATB. Hal ini sejalan dengan konsep ATB dalam sektor privat dimana hasil penelitian/pengembangan yang dapat diakui sebagai ATB adalah hasil penelitian yang dapat dikaitkan langsung dengan penemuan dan pengembangan produk dan proses dalam menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan proses bisnis yang dijalankannya.

http://www.warungkopipemda.com/bagaimana-menetapkan-hasil-penelitiankajian-sebagai-aktiva-tak-berwujud/

 

Leave a comment